Senin, 22 November 2010

TOPIK V : POSITIVISME HUKUM

Sekilas Perkembangan Positivisme

Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.


 Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman metafisis kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio.

Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)—filsuf logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer).

Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filsuf Austria, Ernst Mach (1838-1916), yang dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme. Selain Mach dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.

Pada tahun 1922 Morits Schlick—waktu itu professor ilmu-ilmu induktif di Universitas Vienna—mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai Vienna Circle (Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap sebagai penerus Machisme ini diikuti oleh banyak ilmuwan matematika dan fisika, antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F. Kaufmann dan Carnap. Kajian-kajian yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, terutama melalui bukunya yang terkenal, Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali pada tahun 1922 dalam bahasa Jerman.

Pada masa Vienna Circle inilah positivisme menemukan bentuknya yang matang. Dan pada masa ini pulalah—tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme pertama kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua nama lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang dikenal dalam kalangan Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical Empiricism, yang kesemuanya mempunyai inti yang sama yaitu penolakan terhadap metafisika dengan alasan bahwa permasalahan yang dibahas dalam metafisika adalah permasalahan yang berada di luar batas pengalaman manusia sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Positivisme dan Asas Verifikasi (Mabda’ Al-Tahqîq)

Schlick dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas ini—dalam kalangan Vienna Circle—setelah melakukan diskusi yang panjang dengan Wittgenstein. Secara implisit dalam Tractatus Wittgenstein telah menyatakan penerimaannya terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang membuat para pengikut positivisme berpendapat bahwa suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Ini sangat erat kaitannya dengan Hume yang membagi proposisi ke dalam dua bagian: pertama, proposisi logis dan matematis; dan kedua, proposisi empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah yang dianggap memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut positivisme menolak proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika, dengan alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua jenis proposisi di atas.

Untuk memperjelas kajian kita, berikut ini akan kita uraikan pengertian proposisi, macam-macamnya, dan beberapa hal penting yang berkenaan dengan itu.

Proposisi adalah satuan pemikiran. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa proposisi adalah batas terkecil dari pembicaraan yang dapat dipahami. Apabila kita membagi-bagi satu kesatuan pemikiran—sebuah makalah misalnya—maka bagian-bagian terkecil dari pemikiran tersebut itulah yang kita namakan sebagai proposisi. Sebenarnya proposisi masih bisa dibagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Hanya saja bagian-bagian tersebut sudah tidak dapat dikatakan sebagai pemikiran lagi.

Bagian terkecil dari pemikiran (proposisi) inilah yang dapat dibuktikan benar atau salahnya. Cara yang digunakan untuk membuktikan bahwa suatu proposisi bernilai benar atau salah sangat tergantung pada jenis proposisinya. Dalam hal ini dikenal dua jenis proposisi, yaitu:

a. Proposisi berita (al-qadhîyah al-ikhbârîyah)

Proposisi berita adalah proposisi yang memberitakan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Cahaya berjalan dengan kecepatan 186 ribu mil per detik.” Dalam proposisi ini kita mendapatkan pengetahuan baru, yaitu bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan tersebut. Informasi tentang kecepatan cahaya yang dimuat oleh proposisi ini merupakan tambahan dari pengertian cahaya yang sebelumnya sudah kita ketahui. Oleh karena itulah proposisi ini disebut dengan proposisi berita.

Contoh lain dari proposisi jenis ini adalah: “Ahmad Syawqi adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab.” Subyek dari proposisi ini adalah Ahmad Syawqi. Ahmad Syawqi adalah sebuah nama. Dan tidak dengan sendirinya pemilik nama itu adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra Arab. Oleh karena itu, proposisi di atas memberitakan kepada kita sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Cara yang digunakan untuk menghukumi proposisi jenis ini, apakah benar atau salah, adalah dengan kembali pada kenyataan (alam). Sebuah proposisi yang berbunyi: “Gula mencair dalam air”, dapat kita buktikan kebenarannya dengan mengambil sesendok gula dan memasukkannya ke dalam segelas air. Dan karena kenyataan membuktikan bahwa apabila kita memasukkan gula ke dalam air maka dia akan mencair, maka dapat kita simpulkan bahwa proposisi di atas adalah benar. Oleh karena itu, apabila ada proposisi yang berbunyi: “Gula tidak mencair di dalam air”, maka ini adalah proposisi yang salah.

b. Proposisi pengulangan (al-qadhîyah al-tikrârîyah, repetisi)

Yang dimaksud dengan proposisi pengulangan adalah proposisi yang unsur-unsur predikatnya merupakan pengulangan dari unsur-unsur subyeknya. Dengan demikian proposisi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Janda adalah perempuan yang pernah menikah.” Proposisi ini tidak memberitakan sesuatu yang baru bagi kita, karena apabila kita ditanya ‘Apakah itu janda?’, kita tidak akan bisa menjawabnya kecuali dengan menyebut sifat yang ada dalam proposisi tersebut, yaitu ‘perempuan yang pernah menikah’. Dengan kata lain lain dapat dijelaskan bahwa subyek dan predikat yang terdapat dalam proposisi pengulangan ini memiliki arti yang sama, hanya saja memiliki susunan kata yang berbeda.

Apabila benar-salahnya proposisi berita ditentukan oleh sesuai-tidaknya proposisi tersebut dengan alam nyata, maka tidak demikian halnya dengan proposisi pengulangan. Nilai kebenaran proposisi pengulangan ditentukan oleh kesesuain definisi antara unsur-unsur penyusun proposisi tersebut. Dan ini sangat tergantung pada kesepakatan kita dalam mendefinisikan suatu kata. Selama kita masih sepakat bahwa janda adalah perempuan yang pernah menikah, maka proposisi di atas adalah benar dan akan salah apabila dikatakan bahwa janda adalah perempuan yang belum menikah, kecuali apabila kita sepakat untuk merubah definisi kata janda.

Seluruh proposisi yang ada ilmu eksakta adalah proposisi berita karena proposisi-proposisi tersebut menggambarkan apa yang terjadi di alam nyata dan sangat erat hubungannya dengan pengalaman. Sedangkan semua proposisi yang ada dalam matematika dan logika adalah proposisi pengulangan karena proposisi-proposisi tersebut hanya merupakan pengulangan susunan kalimat (tahshîl al-hâshil, mengadakan yang sudah ada). Oleh karena itulah, para pengikut positivisme menyatakan bahwa proposisi-proposisi dalam matematika dan logika semuanya bersifat a priori. Namun demikian hal ini tidak lantas menjadikan proposisi-proposisi tersebut keluar dari lingkup pengalaman, tapi justru sebaliknya. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa sebenarnya proposisi-proposisi yang ada dalam matematika dan logika itu—dalam bentuk yang sangat abstrak dan umum—menggambarkan hubungan antara satu benda dengan benda yang lain di alam nyata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa—menurut positivisme—suatu proposisi dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan benar-salahnya, baik dengan menggunakan verifikasi logis (al-tahaqquq al-manthiqî) maupun verifikasi empiris (al-tahaqquq al-tajrîbî). Sementara proposisi yang tidak mungkin dibuktikan salah-benarnya dengan salah satu dari dua jenis verifikasi ini dianggap tidak mempunyai arti.

Hal ini pada gilirannya sangat mempengaruhi ‘apakah sebenarnya yang benar-benar bisa disebut sebagai ilmu?’ Berdasarkan dua jenis proposisi di atas, positivisme membagi ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu formal yang mencakup matematika, logika (dalam arti sempit), dan logika terapan. Dan kedua, ilmu-ilmu aktual yang mencakup ilmu-ilmu eksakta.

Ilmu-ilmu yang menjadikan manusia sebagai obyek bahasannya—seperti psikologi, ilmu ekonomi dan sosiologi—dianggap sebagai cabang dari eksakta dalam pengertian yang luas, karena materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu ini adalah sesuatu yang ada di alam nyata dan dapat ditangkap melalui panca indera sebagaimana materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu eksakta.

Sedangkan metafisika harus keluar dari lingkaran ilmu. Hal ini disebabkan karena materi yang dibahas dalam metafisika adalah segala sesuatu yang ada di balik alam nyata tapi bukan merupakan bagian dari alam nyata itu. Dan karena manusia tidak dapat menerangkan kecuali sesuatu yang ada di alam nyata, maka proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika tidak dapat dikatakan benar atau salah.

Demikian halnya dengan etika dan estetika. Dua yang terakhir disebut ini tidak dapat digolongkan baik ke dalam ilmu-ilmu formal maupun ilmu-ilmu aktual. Alasannya adalah karena keduanya berhubungan erat dengan perasaan. Dan karena setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda dengan yang lain, maka proposisi-proposisi yang ada dalam keduanya tidak dapat diuji kebenarannya.




                        
Tugas Filsafat Menurut Aliran Positivisme


Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia—sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.

Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisa bahasa (tahlîl al-lughah). Tujuan dari analisa ini adalah untuk mencapai kejelasan dan ketelitian, menghindari istilah-istilah dan proposisi-proposisi yang tidak jelas (tidak mempunyai arti) yang banyak didapatkan dalam bahasa (terutama bahasa filsafat), dan untuk memperoleh arti yang detail dari suatu proposisi serta menguji apakah proposisi tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa filsafat tidak menambahkan sesuatu yang baru bagi pengetahuan kita dan tidak pula memberi tafsiran atas apa yang terjadi di sekitar kita, tapi yang dikerjakan oleh filsafat hanyalah sekedar memberi batasan arti istilah-istilah bahasa untuk menghindari kerancuan.

Berkenaan dengan tugas filsafat sebagai aktifitas dalam menganalisa bahasa, berikut akan kita bicarakan hubungan antara bahasa dan logika dengan alam.

Menurut positivisme, alam tidaklah tersusun dari kumpulan benda-benda, melainkan terdiri dari kumpulan kejadian-kejadian (al-waqâ’i‘). Russel berkata: Tidak ada materi, tidak pula akal. Hanya sense-data (al-waqâ’i‘ al-hissîyah al-mufradah)-lah satu-satunya yang bisa dibilang ada. Sementara dalam Tractatus, Wittgenstein menulis:

Alam adalah segala sesuatu yang ada. (1)

Alam adalah kumpulan kejadian-kejadian bukan benda-benda. (1,1)

Kejadian-kejadian yang ada di alam ini dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama, kejadian kompleks (waqî‘ah murakkabah). Kejadian kompleks ini dapat dibagi-bagi lagi menjadi kejadian-kejadian yang lebih kecil. Bagian terkecil dari kejadi yang tidak dapat dibagi lagi disebut dengan kejadian atomik (waqî‘ah dzurrîyah), dan ini adalah jenis kedua. Kejadian-kejadian ini digambarkan oleh bahasa melalui proposisi-proposisi. Proposisi yang menggambarkan kejadian kompleks disebut dengan proposisi kompleks (qadhîyah murakkabah), dan proposisi yang menggambarkan kejadian atomik disebut dengan proposisi atomik (qadhîyah dzurrîyah).

Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bahasa dengan alam adalah seperti hubungan antara gambar dan aslinya. Dengan demikian kita dapat membedakan proposisi-proposisi yang mempunyai arti dan proposisi-proposisi yang tidak mempunyai arti. Proposisi yang mempunyai arti adalah proposisi menggambarkan suatu kejadian di alam nyata, meskipun tidak selalu benar. Sementara proposisi yang tidak menggambarkan suatu kejadian di alam nyata—seperti proposisi-proposisi metafisika—tidak bisa dikatakan benar atau salah karena sama sekali tidak mempunyai arti.

Proposisi-proposisi bahasa tak lain adalah gambaran logis dari kejadian-kejadian yang ada di alam. Oleh karena itu, proposisi-proposisi tersebut tidak hanya sekedar menggambarkan benda-benda saja, tapi menggambarkan hubungan antar benda-benda tersebut. Hubungan antar benda-benda dalam kejadian dan hubungan antar nama-nama dalam proposisi disebut dengan structure (bunyah). Kalau kita perhatikan benda-benda yang ada di alam dan hubungan yang terjadi di antara benda-benda tersebut, akan kita dapatkan satu hubungan yang bersifat umum yang disebut dengan The Logical Structure of The World, yang menggambarkan keterkaitan antara logika dan alam, dimana hubungan-hubungan yang terjadi antar benda di alam tak lain adalah hubungan logis. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa logika itu menyelai alam, dalam arti bahwa batasan-batasan alam dengan sendirinya adalah batasan-batasan logika. Ini berarti bahwa gambaran logis yang dilakukan oleh bahasa tidak boleh melampaui apa yang terjadi di alam.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, para pengikut positivisme menganggap permasalahan-permasalahan yang selama ini dihadapi oleh filsafat sebenarnya bukanlah permasalahan yang sesungguhnya. Semua itu disebabkan oleh salahnya pemahaman terhadap logika bahasa. Filsafat banyak sekali berbicara tentang sesuatu yang tidak mempunyai arti, seperti al-‘aql al-kullî (rasio jeneral) , al-zamân al-wujûdî (masa eksistensial), al-rûh al-muthlaq (ruh absolut) dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh usaha-usaha para filsuf untuk memberi tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam secara universal, sehingga mereka terjebak dalam proposisi-proposisi metafisis.

Berangkat dari semua yang kita bicarakan di atas, para pengikut positivisme berpendapat bahwa agar filsafat terbebas dari metafisika, maka tugasnya harus dibatasi sekedar sebagai analisa bahasa. Sedangkan tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam dan pada diri manusia diserahkan kepada ilmu-ilmu eksakta (dalam arti yang luas).

Positivisme di dalam Ilmu Pengetahuan

Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia, tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita. 

Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. 

Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya.

Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai. 

Kritik Terhadap Positivisme

Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31). 

Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!

Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan (hal. 226). 

Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240) 

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia***

Kritik pandangan positivisme
Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut.  Apa yang akan dilakukan, dengan berbekal paradigma positivisme logis tentunya, ketika dua teori yang berbeda menjelaskan satu fenomena yang sama secara berbeda?  Disamping itu, pernyataan bahwa suatu teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi.  Artinya, teori yang dikembangkan oleh pemikir positivisme logis ini dapat dikenai kritiknya sendiri.  Maka, teori ini juga problematic secara internal.  Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan diatas dominan didalam perdebatan filsafat ilmu pengetahuan, tetapi realitas actual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama didalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sesuai dengan ide-ide positivism logis ini.  Bahkan, refleksi filsafat ilmu pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan ini.
Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-tesis dasar positivism logis, serta menunjukkan pentingnya perannya proses falsifikasi didalam perumusan dan perubahan suatu teori.  Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat, seperti yang dirumuskan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada didalam sebuah pandangan dunia tertentu.  Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam lmu pengetahuan hanya dapat terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai, dan diganti yang lain.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

REFLEKSI :
Aliran ini terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, hal ini dapat dilihat dari regulasi-regulasi yang ada. Sebaiknya hukum tidak dipandang dari satu sisi saja yaitu kepastian hukum beaka, namun harus dari segala arah, yaitu kemanfaatannya serta sisi keadilannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar